Rabu, 02 Februari 2011

Sebuah Dedikasi terhadap SASTRA

Sastraku Menangis
            Sastra merupakan kata serapan dari bahasa sansekerta शास्त्र,, shastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesustraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata “sastra” bisapula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan (sastra oral). Disini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.
            Sastra merupakan seni bahasa, oleh karena itu keberadaannya patutlah dipertahankan untuk memperkaya khasanah budaya di nusantara. Lalu, siapakah yang harus mempertahankan dan mengembangkan khasanah budaya tersebut agar tidak hilang tertindih budaya yang lain ? Tentulah kita yang harus mempertahankan dan mengembangkannya.
Disinilah masalah mulai terjadi. Dalam realitanya generasi penerus sastra tersebut makin ogah –ogahan untuk mempertahankan apalagi mengembangkannya. Seakan – akan tidak ada yang peduli akan dibawa kemana sastra kita. Nasib sastra kita akan menjadi terkatung – katung. Ngambang. Tak jelas arahnya, karena tak ada yang mau apalagi sanggup untuk membawa kearah yang seharusnya, yaitu kearah sebuah perkembangan yang lebih baik.
Bagaikan sebuah rumah yang akan ambruk bila boleh digambarkan wajah sastra kita saat ini. Awalnya rumah tersebut berdiri dengan kokoh pada masa kejayaannya. Sama seperti sastra kita. Pada mulanya sastra kita sempat mengalami masa dimana masa itu melahirkan banyak sastrawan terkemuka. Di masing – masing periode ada sastrawan yang muncul dengan buah tangannya yang menakjubkan. Periode – periode tersebut dikenal dengan “Angkatan Pujangga Lama” , “ Angkatan Pujangga Baru”, “ Angkatan ‘45”, “Angakat Balai Pustaka”. Mereka seperti raja di angkatannya masing – masing. Namun sekarang perlahan perkembangan sastra tidak terlihat sama sekali, bahkan karya – karya lama yang dihasilkan pada masing – masing angkatan seperti lengser dewasa ini. Jadi tidaklah salah jika perandaian diatas diungkapkan. Sastra seperti rumah yang akan ambruk. Keadaannya sekarang memprihatinkan. Tidak ada yang berjuang untuk membuatnya kembali kokoh seperti semula. Sastraku menangis.
Seharusnya ini adalah tanggung jawab pemiliknya, yaitu kita semua. Dalam hal ini lebih ditekankan pada generasi penerus bangsa. Tapi yang kita temukan sekarang justru berbandng terbalik. Mengapa ? Dalam sebuah situs di Internet saya menemukan banyak artikel tentang ketidakpedulian generasi penerus bangsa khususnya para  remaja terhadap sastra. Pada situs blog milik seorang siswa SMP bernama Febby disebutkan :
“Sastra adalah hal yang berat dan membosankan,” begitulah anggapan umum para remaja. Sebuah anggapan yang juga membuat kita memahami mengapa karya-karya teenlit lebih digemari para remaja ketimbang Siti Nurbaya-nya Marah Rusli. Padahal keberadaan sastra bukan sekadar hiasan, melainkan untuk dibaca, untuk dilestarikan. Padahal dari sebuah puisi, kita dapat mengetahui sesuatu yang tidak ada di depan mata. Kita menyimpan khayalan orang lain yang indah.
Febby inilah yang turut prihatin akan reaksi teman – temannya yang menanggapi tentang sastra setelah W. S. Rendra berbicara dalam sebuah forum yang digelar di sekolah mereka. Hanya sebagian kecil dari mereka yang antusias menyimak tentang apa yang W.S. Rendra bicarakan. Sebuah kenyataan yang menyayat batin sastra kita. Lagi – lagi sastra ku menangis.
Akankah terus dibiarkan keadaan yang seperti ini ? Ketidak pedulian remaja pada sastra dapat dibuktikan dengan hal lain. Misalnya, ketika mereka ada tugas menulis dari guru bahasa Indonesia mereka, contohnya seperti menulis sebuah esay dengan batas waktu satu jam. Mereka akan lebih memilih menyingkat kata-kata yang TIDAK seharusnya disingkat. Seperti kata ‘yang’ disingkat menjadi ‘yg’, kata ‘dengan’ disingkat menjadi ‘dg’ dan lain-lain untuk mempersingkat waktu. Ini sangat tidak sesuai dengan aturan EYD (Ejaan yang Disempurnakan).
Ketidakpedulian akan sastra seperti menjadi virus sehingga sangat marak terjadi dikalangan remaja saat ini. Kesadaran mereka untuk mengembangkan dalam upaya melestarikan sastra sangatlah minim. Sudut hati kecil mereka seperti tidak tersentil sedikitpun. Maka imbasnya, karya – karya seperti teenlit yang notabene isinya “bagus” lebih diminati ketimbang karya – karya seperti Belenggu (Armijn Pane), Di Bawah Naungan Ka’bah (Hamka), Deru Tjampur Debu (Chairil Anwar), Robohnya Surau Kami (A.A Navis), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis) dan banyak yang lainnya.
Banyak yang berkelit dan mencari-cari alasan ketika sebuah pertanyaan diajukan ke mereka. Yaitu, tentang alasan mengapa mereka lebih suka membaca teenlit ketimbang karya sastra yang lainnya? Maka, jawaban mereka akan tetap sama. Bahasa yang sulit dipahami dan dicerna oleh merekalah kendalanya, jadi mereka tidak dengan mudah memahami isi dari karya sastra itu. Sebuah alasan yang masuk akal, tetapi sangat mudah ditebak bagaimana ujung temu nya.
Lalu, apa tindakan yang seharusnya dilaksanakan oleh semua pihak guna menumbuhkan kesadaran para remaja untuk turut berperan andil dalam pengembangan sastra kedepannya agar sastra tidak rusak apalagi hilang direngat oleh waktu? Sebenarnya banyak yang dapat dilakukan antara lain dengan mengenalkan tentang indahnya sastra kepada semua kalangan khususnya para remaja, menanamkan budaya membaca sedari dini dan masih banyak hal lain yang dapat dilakukan.
Namun, semua ini tidak dapat dipaksakan. Semua dikembalikan pada masing-masing individu bagaimana mereka menyikapi dan mengatasi kerapuhan sastra saat ini. Karena sesungguhnya masa depan sastra ada pada bahu - bahu mereka. Adalah sebuah kepercayaanlah sekarang yang harus diletakkan dalam dada masing-masing pihak. Bahwa mereka, generesi penerus bangsa, pasti akan sanggup membangun sastra yang reyot perlahan direngat waktu. Ya, percaya. Percaya bahwa sastra ini tidak akan kembali menangis.

                                                                        Magetan, 15 Oktober 2010
                                                                        Pukul 00.06

Tidak ada komentar:

Posting Komentar