Rabu, 22 Desember 2010

Karya yang terukir dari jemari-jemari kecil

Siti, Afwan !!

            Bila gadis kecil itu merengek lagi ....
                Gelap. Masih tampak meraja, menutup selimut hangat sang matahari. Karena itu, sinar hangatnya tak sanggup menembus awan tebal menghitam. Bahkan angin pun tak sanggup meniup kumpulan awan-awan hitam itu. Kini, langit yang akan tumpahlah yang berkuasa. Sang raja hari pun telah digesernya. Padahal hari sudah pagi. Sudah hampir menunjukkan pukul enam. Tapi perkampungan dekat pelelangan ikan itu masih tampak lengang. Tak jauh dari itu, pesisir pantai yang menjadi muara hidup bagi para penjamah laut pencari ikan juga tak kalah sepinya. Yang nampak hanyalah kapal-kapal kayu yang berada di pinggir pantai. Nyanyian nyiur kelapa di pagi itu menambah kesunyian yang semakin menampakkan batang hidungnya. Sepi. Sunyi. Hanya desir angin dingin yang dapat dirasakan.
                Suasana pagi itu sedang tak bersahabat. Awan hitam yang menggulung, air laut yang sedang pasang, semakin mendeklarasikan kepada para nelayan yang masih melaut untuk segera pulang, jangan terlalu lama menyisisir deburan ombak yang sedang dirajai kegelapan.
                Perempuan setengah baya berusia sekitar empat puluh lima tahun itulah yang sedang terlihat oleh mataku. Ia sedang menyisir  tepian pantai, mengais rejeki, pikirku. Siapa tau dia akan mendapatkan bintang-bintang laut atau apa sajalah yang dapat dijualnya untuk menyambung hidup. Ku lihat perempuan itu dari dekat. Kemudian, seorang gadis kecil berbaju putih kumal dengan celana hitam pendek menghampirinya.
“Emaaakkkk”[1], teriak gadis kecil itu. Perempuan setengah baya yang mendengar teriakan gadis kecil  dibelakangnya, segera membalikkan badannya. Mengulaskan sesungging senyum. Tak banyak tingkah, gadis kecil itu segera membungkukkan badannya, mencungkil pasir-pasir putih pantai dengan tangkai pohon yang tak begitu panjang. Mengikuti langkah emaknya. Bibir kecil itu sedikit bercengkrama dengan emaknya. Tak jelas apa yang dibicarakan. Tahu-tahu, gadis kecil itu dipeluk perempuan setengah baya yang sejak tadi aku perhatikan. Mungkin, gadis kecil itu adalah buah hati sang emak. Ku jepret saja momen manis itu dengan kamera yang sedang aku bawa. Senang aku melihatnya.
                Aku duduk diantara kapal-kapal kayu nelayan di tepi pantai. Memperhatikan tingkah polah si emak dengan gadis kecil itu. Sesekali mereka tertawa terbahak-bahak di tengah kesunyian pagi. Memecah keheningan. Terkadang mereka juga berbisik-bisik ketika ada satu atau dua orang lewat di depan mereka. Ah...entah apa yang mereka bicarakan. Tak terdengar sedikitpun pembicaraan mereka. Hanya tawa mereka yang sesekali bisa aku dengar. Aku penasaran. Ingin tahu. Lalu, tanpa pikir panjang ku langkahkan kakiku menuju si emak dan anaknya yang ada di bawah pohon kelapa, sekitar dua meter dari tempat aku duduk.
“Mmmbbaaakkkk...kemarilaaaahhh”, teriakan renyah dari gadis kecil itu sepertinya ditujukan untukku. Dia lambaikan tangannya. Sedangkan, perempuan setengah baya itu tersenyum melihat tingkah laku anaknya. Aku sedikit berlari menghampiri mereka.
“Hai”, sapa ku lebih dulu pada mereka.
“Mbak”. Sepatah kata itulah yang aku dengar dari gadis kecil itu.
“Lagi opo kowe[2], nduk? [3]Lebih baik jangan datang kemari ketika air laut sedang ngamuk. Bisa-bisa kowe disantapnya, nduk[4]”, kata perempuan setengah baya itu dengan logat bahasa jawanya yang kental.
“Hehe, iya bu. Saya hanya sedang jalan-jalan saja. Tak sengaja bertemu ibu”, kataku dengan seulas senyum di bibir merahku.
“Mbak sering datang kemari ya? Aku sering lihat mbak jalan-jalan disini. Dua hari yang lalu, kalau tidak salah, aku lihat mbak lagi sama laki-laki berjalan-jalan di sekitar pantai ini”, cerocos gadis kecil itu dengan sedikit medok.[5]
“Adek tahu ya? Iya, mbak memang datang kesini dua hari yang lalu bersama teman satu kantor mbak. Laki-laki. Mbak suka pantai, dek. Makanya mbak sering sekali kesini. Apalagi mbak punya sakit asma. Udara pantai khan baik buat orang sakit seperti mbak, hehehe”, tanggapku dengan sedikit guyon.[6]
“Aku pikir laki-laki itu suami mbak. Kalau sakit, kenapa mbak jalan-jalan kesini?”, sebuah pertanyaan lugu dari gadis kecil itu mampu membuatku terkekeh-kekeh. Mendengar pertanyaan konyol anaknya, perempuan setengah baya itu mencubit gadis kecilnya dengan sedikit cubitan. Tapi, si gadis kecil malah mencolek dagu ibunya. Genit.
“Ibu, kenalkan, saya Farida. Saya tinggal tak jauh dari pantai ini. Sekitar dua kilometer. Dekat Pasar Legi”, kataku memperkenalkan diri.
“Nduk apa tinggal di perumahan orang kaya itu?”. Pertanyaan itu tak enak didengar telingaku. Aku hanya mengangguk saja.
“Emak, jilbab mbak’e bagus ya?”, tanya anak kecil itu pada ibunya dengan memegang jilbab pink ku.
Ku lihat perempuan itu hanya menanggapi nya dengan meletakkan telunjuknya pada bibir dan berkata... “Ssssttt, mbak’e itu orang kaya, nduk”. Aku menunduk. Malu. Tapi entah malu karena apa. Sesaat suasana hening. Gadis kecil dan perempuan itu juga diam sambil mengamati baju gamis dan jilbab yang aku kenakan.
“Ibu namanya siapa?”
 “Maemunah, nduk. Anak kecil ini anakku, nduk”.
“Kalau adek?”
“Siti. Siti Nurjannah, mbak”. Ternyata benar dugaanku. Gadis kecil ini adalah anak dari perempuan setengah  baya yang sejak tadi aku amati.
“Ibu sedang apa tadi di tepi pantai itu?”, tanyaku dengan menunjuk ke tempat dimana perempuan setengah baya tadi mencungkil pasir-pasir putih pantai.
“Oh, emak tadi sedang nyari binatang-binatang laut yang banyak terdampar di tepi pantai waktu air  laut pasang mbak”, gadis kecil itu, Siti, menjawab pertanyaanku. Tetap dengan ke”medokan”nya.
“Biasanya, aku kerja jadi kuli angkut di tempat pelelangan ikan ketika ikan-ikan datang, nduk. Tapi karena air laut sedang pasang, tempat pelelangan itu tak membutuhkan tenaga ku, nduk”, jelas si emak.
“Lalu hari ini ibu dapat binatang-binatang lautnya?”.
“Ini”, jawab si emak sambil menunjukkan bak kecil berisi aneka binatang laut. Ada kepiting kecil, ada bintang laut, ada landak laut, ada cangkang-cangkang kerang, dan ada pula cumi-cumi.
“Ini dijual?”
“Cuma bintang laut, landak laut, dan cangkang kerang ini saja nduk yang ibu jual ke pengerajin souvenir[7] di Pasar Legi. Dibuat hiasan. Yang lain kami makan”.
“Dibeli berapa bu semua ini?”.
“Satu binatang laut dibeli dua ribu rupiah, nduk”.
Aku terperangah. Kaget dengan pernyataan si emak. Murah sekali, pikirku.
                Setelah perkenalan itu, aku sering berkunjung ke rumah panggung emak dan Siti di tepi pantai. Membawakan mereka makanan. Bahkan terkadang aku juga membawakan Siti pakaian dan buku-buku yang dapat ia baca. Tapi, sepanjang kunjunganku ke rumah kayu mereka, tak sekejap pun aku menemui laki-laki dirumah itu. Maksudku ayah atau kakak Siti barangkali. Seperti sore ini. Pukul empat sore aku baru saja pulang dari kantor dan aku memutuskan untuk menengok emak dan Siti dirumah panggung mereka dekat pantai. Kubawakan mereka martabak manis, sedikit baju bekas untuk emak dan Siti serta sembako untuk kebutuhan harian mereka.
“Assalamualaikum, Emak...Siti”, sapaku dari luar rumah.
“Waalaikumsalam”, jawab mereka bersamaan. Tapi suara itu tak berasal dari dalam rumah. Lalu?
“Mbaaakkk...kami disini, di atap rumah”, teriak Siti.
“Astaghfirullah, Emak, Siti, ngapain diatas?”. Aku terperangah. Kaget. Aku dongakkan kepalaku.
Belum sempat pertanyaanku dijawabnya, Siti turun dari atap dan menggandengku masuk kedalam rumah panggung mereka. “Ayo mbak Ida, masuklah”. Ki ikuti Siti. Masuk ke dalam rumah.
“Duduk mbak”. Siti mempersilahkanku duduk di tikar rotan mereka. Aku duduk. Lalu kuberikan makanan dan pakaian yang aku bawa tadi. “Ini untukmu, Siti”. Siti terlihat senang dengan pemberianku. Tak lama kemudian, emak masuk ke rumah menyusul kami. Ku cium tangan si emak.
“Emak, lihat!! Mbak Ida bawa ini,makkk”, sahut Siti dengan menyerahkan bungkusan yang aku beri tadi pada emaknya.
“Nduk, repot-repot saja. Terima kasih ya??”, kata si emak padaku. Aku hanya tersenyum seraya menganggukkan kepala.
                Lama aku berbincang dengan Emak dan Siti. Tapi, selama itu pula aku tak menjumpai seorang lelaki pun menemuiku dari dalam rumah Emak. Aku celingukan. Sepertinya Emak bisa membaca isyarat tubuhku dan apa yang ada dalam pikiranku.
“Nduk, nyari siapa? Dari tadi kamu celingukan, seperti ada yang sedang kamu cari”.
“Emak, tidak ada kepala keluarga kah disini, mak? Maksud saya ayah atau kakak laki-laki Siti barangkali?”, tanyaku dengan sedikit berbisik.
Sejenak emak mengatupkan bibirnya. Kepalanya tertunduk. Tatapan matanya yang tajam menandakan kekuatan luar biasa yang ada pada dirinya itu hilang. Berganti dengan tatapan kuyu, mata sayu disertai bulir-bulir bening keluar dari kedua matanya. Melihat emak yang seperti itu, aku jadi merasa berdosa.Tak kusangka pertanyaanku padanya berbuah kesedihan hingga sanggup membuat kekokohan hatinya runtuh dalam sekejap. Ah emak, maafkan aku, mak.
                Sabar aku menanti emak hingga emak bicara. Kulihat Siti yang tertidur pulas dipangkuan emak. Ku amati dia. Kulitnya yang hitam menandakan kerasnya hidup yang ia jalani. Bajunya yang selalu kumal menandakan ia tak cukup sanggup membeli barang-barang bagus layaknya teman-teman seusianya. Tiba-tiba...
“Nduk, mau kah kamu mendengarkan ceritaku, nduk?”, tanya emak padaku. Suara emak yang mengagetkanku lantas membuatku angguk-angguk kepala. Setuju dengan pinta emak.
                Mulailah emak bercerita padaku.
                Dahulu, lima belas tahun silam emak menikah dengan seorang laki-laki bernama Zainuddin, laki-laki keturunan keluarga pesisir pantai Belitong. Pernikahan mereka dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Mahfud dan seorang anak perempuan bernama Siti, tepatnya Siti Nurjannah, gadis kecil yang tidur pulas di pangkuan emak sekarang. Karena mereka tinggal di pesisir pantai, jadilah nelayan sebagai mata pencaharian suami emak. Suami emak adalah pekerja keras, tak kenal paruh waktu. Oktober, 2000 dini hari. Suami emak pergi melaut. Padahal cuaca sedang tak baik. Ombak laut mendebur-debur setinggi hampir satu meter. Para nelayan lain pun tak ada yang berani melaut, tapi kerena kebutuhan ekonomi yang menghimpit, suami emak tetap pergi melaut. Emak melepas kepergian suaminya itu dengan berat hati, apalagi si sulung, Mahfud yang saat itu berusia lima tahun, turut pula bersama ayahnya.Dipeluknya sang suami erat sekali. Diciumnya si sulung. Emak hanya berpesan pada mereka agar tetap hati-hati dan cepat kembali.

                Emak terdiam sesaat. Lalu dilanjutkan kembali kata-katanya.
“Dua hari emak menunggu Mahfud dan Bang Zai. Emak selalu melihat ke arah laut, tapi emak ndak mendapatkan tanda-tanda kepulangan mereka. Siti yang baru berumur tiga tahun selalu tanya dimana mas dan bapak’e”.
Dengan penuh kesabaran, emak memutuskan mencari suami dan anak sulungnya itu dengan dibantu oleh tetangganya. Empat hari. Lima hari. Sampai satu minggu emak tak mendengar kabar sedikitpun tentang mereka. Karena itu, mereka diputuskan hilang oleh penduduk setempat. Emak sedih sekali mendengarnya hingga dua hari emak jatuh sakit. Tapi, emak masih memiliki keyakinan bahwa suami dan anak laki-lakinya masih hidup. Karena keyakinannya itulah setiap saat, setiap waktu ia pandangi laut biru yang membentang luas. Tak pernah sedikitpun emak merasa putus asa. Tapi hingga dua bulan lebih emak menanti tanpa sebuah kepastian. Akhirnya emak percaya bahwa tak mungkin suami dan anak laki-lakinya bisa bertahan hidup di laut lepas dengan rentang waktu selama itu.
                Sepuluh tahun emak menjalani hidupnya bersama Siti, anak perempuannya. Emak harus jadi ayah sekaligus ibu bagi Siti. Kehidupan yang berat pun dijalani Emak dan Siti. Setiap hari Emak harus menjadi kuli angkut ikan di tempat pelelangan ikan ketika ikan-ikan datang dari pelabuhan dan Siti...dia harus menjadi pengamen kecil di jalan raya sejauh sepuluh kilometer dari tempat dimana Emak dan Siti tinggal. Dia berjalan pulang dan pergi. Sendiri. Menantang panasnya sinar matahari. Menempa dirinya ditengah kerasnya hidup demi memenuhi kantong ekonomi mereka. Tapi sedikitpun Emak dan Siti tak pernah mengeluh. Karena mereka saling melengkapi. Hanya Siti yang Emak miliki sekarang dan begitu sebaliknya. Siti adalah keturunan terakhir dari garis keturunan keluarganya.
                Aku sangat terpukul mendengar cerita Emak. Hidup mereka tak semudah membalikkan telapak tangan. Keras. Terjal. Apa lagi Emak membawa serta Siti dalam kerasnya hidup ini. Pilu rasanya hatiku.
                Baru ku tahu sekarang bahwa Siti tak mengenyam pendidikan semenjak ayah dan kakaknya hilang. Emak tak sanggup membiayai pendidikan Siti. Siti hanya mengenyam pendidikan sampai sekolah dasar kelas satu saja. Keterbatasan ekonomi lah yang menghambat jalan hidup Emak dan Siti. Dan Siti lah yang paling merasakan dampak ekonomi itu. Siti masih sangat dini untuk mengenal kerasnya hidup. Masih terlalu kecil untuk melihat kejamnya dunia. Tapi inilah kenyataannya. Siti harus menghadapi padang tandus, menerjang padang gersang. Panas. Hampa. Dan sepi.
                Semenjak aku mendengar cerita emak itu, aku makin peduli dengan kehidupan yang mereka hadapi. Dalam hati aku berjanji akan menjaga mereka terutama aku akan menjaga Siti. Timbul keinginan di hatiku untuk menyekolahkan Siti kembali. Aku tak tega bila nanti sepanjang hidupnya, Siti hanya mengenal kesulitan hidup. Aku berpikir bahwa hanya lewat pendidikan lah Siti dapat merubah jalan hidupnya. Aku bertekad untuk itu. Karena tekadku itulah yang membawaku pada Siti yang tengah duduk di emperan toko tepi jalan raya, tempat dia biasa ngamen. Aku datang padanya setelah tiga hari aku tak berjumpa dengannya. Rindu. Itulah yang aku rasakan. Semakin lama, aku merasakan semaikin dekat dengan Siti. Entah mengapa. Hati ini rasanya telah terpaut oleh anak itu. Aku begitu menyayanginya. Setiap saat ku rindukan ia.
“Siti...”, sapaku. Siti yang saat itu sedang diduk melamun di emperan toko terlihat terkejut dengan kehadiranku.
“Mbaaaaakkkkkkk”. Siti histeris. Tangisnya meledak ketika melihatku. Aku linglung. Tak mengerti mengapa dia begini. Siti memelukku. Erat sekali. Ia menangis terisak. Aku peluk ia seakan aku ingin memberi kekuatan padanya. Aku yakin pasti ada suatu hal yang membuat Siti sedih tak terkira.
“Ssssshhhh, ssshhh”. Ku elus punggungnya. Terasa panas karena terlalu lama ia tersengat matahari.
“Siti kenapa?”, lanjutku setelah Siti sedikit tenang.
“Ayo ikut Mbak”. Ku gandeng tangannya menuju mobilku. Setelah ia duduk didalam mobilku, masih dengan isakannya, aku tanyai kembali ia. “ Siti kenapa?”.
Lama Siti tak menjawab. Mungkin ia masih berusaha menenangkan dirinya. Ku tunggu Siti hingga ia bicara apa yang sebenarnya terjadi.
“Mbakkk”.
“Ya, Siti. Kenapa? Ada apa sebenarnya? Siti sepertinya sedih sekali?”.
“Emak”. Hanya itu yang Siti ucapkan.
“Kenapa Emak, Siti?”, tanyaku dengan nada khawatir.
“Bacalah ini, Mbak”, kata Siti seraya menyerahkan selembar kertas yang dilipat padaku.
Nak Ida, mungkin saat kau baca surat ini, emak sudah ndak ada lagi. Emak telah menghadapi dunia emak yang baru.Emak sudah tak sanggup menjalani kerasnya hidup yang emak jalani bersama Siti. Emak juga tidak sanggup bila harus melihat Siti dalam penderitaan yang abadi.Karena itu, Emak putuskan untuk mengakhiri semua. Emak titip Siti.
Masya Allah... Emak.... jalan nista inikah yang dipilihnya???
Ya. Itulah isi selembar kertas yang Siti serahkan padaku.
“Mbak, mbak.. Emak sudah ndak ada. Emak menenggelamkan dirinya di laut kata tetangga Siti, Mbak”, kata Siti. Ia terisak kembali. Siti kemudian melanjutkan kata-katanya, “Sehari sebelum Emak meninggalkan Siti, emak berkata bahwa kematian itu adalah kedamaian, mudah. Kemudian, esok harinya setelah Siti pulang ngamen, Emak sudah tak ada. Yang Siti dapati hanya selembar kertas ini”.
“Siti... bersabarlah. Allah pasti punya rencana yang lebih baik dibalik semua ini, Siti”, ngilu rasanya hatiku mendengar cerita dan kenyataan yang harus dihadapi gadis kecil dipelukanku. Aku ingin menangis, tapi disisi lain aku tak ingin tampakkan setitik pun air mataku, karena sekarang aku adalah kekuatan bagi Siti. Emak telah menitipkannya padaku. Oleh karena itu, sekarang, jika aku menangis, sama saja halnya dengan runtuhnya kekuatan hatiku dan aku akan membuat Siti lebih terpuruk karena tak ada yang sanggup memberi kekuatan padanya. Kini, Siti adalah amanah bagiku.
“Siti, Siti ikut mbak Ida ya? Siti mau kan? Siti tinggal ya bersama mbak? Siti gak seharusnya menghadapi hidup yang sulit seperti ini”. Siti hanya mengangguk mereaksi tawaranku.
                Ku lajukan mobil ku pelan sekali. Hanya 40 km. Sambil tetap mengendalikan mobilku, sesekali aku melihat Siti. Dia masih saja sesenggukan. Terkadang, ku usap air matanya.Ah, kasihan. Ya Allah... inikah puncak derita Siti?
                Satu jam kemudian, aku sampai rumah. Siti sedang tidur. Mungkin dia lelah. Tak tega aku membangunkannya. Ku gendong ia menuju kamarku. Namun, apa yang terjadi?
“Ida, anak siapa itu yang kamu bawa pulang, Nak?”, tanya Umi padaku.
“Afwan, Umi. Izinkan Ida membawa anak ini ke kamar Ida dulu”. Aku segera membuka pintu kamarku. Ku tidurkan Siti. Ku selimuti dia dan sedikit ku elus rambutnya yang kumal. Setelah itu, aku segera menemui Umi di ruang keluarga. Ternyata disana tak hanya ada Umi, tapi juga Abi dan Kak Farah, kakak perempuanku. Mereka bertiga memandangku dengan penuh tanda tanya. Penasaran.
“Ida, duduklah, Nak”, kata Umi.
“Abi mau tanya, Nak. Tapi jawablah dengan jujur”.
“Sepertinya Ida tahu apa yang akan Umi, Abi dan Kak Farah tanyakan. Tentang anak kecil yang Ida bawa kerumah, kan?”, tanyaku.
Mereka semua diam. Tanpa pikir panjang, ku ceritakan saja apa yang aku alami. Mulai dari pertemuanku dengan Siti sampai kenapa aku membawa Siti kerumahku ini.
                Setelah ku ceritakan semuanya, mereka tak bereaksi apa-apa. Bahkan, Kak Farah menentang keputusanku merawat Siti...ahhh. Entahlah. Sekarang, aku tidak tau lagi apa yang harus aku lakukan. Seluruh keluargaku tak menerima kehadirannya disini.
                Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan. Terbesit dalam benakku untuk membawa gadis kecil itu pergi dari rumahku dan membawanya ketempat yang nyaman untuknya. Tapi dimana?? Siti, maaf.


S              e             l               e             s              a              i
               


[1] ibu
[2] kamu
[3] Sedang apa kamu,nak
[4] Panggilan nak (dalam bahasa jawa)
[5] Logat yang kental
[6] bercanda
[7] cinderamata

Senin, 20 Desember 2010

Badai yang Menerpa Bukan Arti Nada Kehilangan

Kalau ada malam yang basah karena hujan..... adalah pertanda dingin akan menusuk tulang belulang
Kalau ada angin berhembus... adalah pertanda malam akan semakin dingin
Tapi... bagaimana bila ada badai yang menerpa saat malam menidurkan kita dalam lelap?
Berlari... atau tetap berdiri dalam ringkihan badan yang tak cukup kuat dan sanggup melawan mahadahsyatnya badai yang meniup rerimbun pepohonan??

Kalau boleh diibaratkan,
Hidup selayaknya sebatang pohon kokoh yang didalamnya ada kehidupan yang lebih dalam lagi
Ada keterbatasan yang mungkin memukul hati nurani dan memaksa otak kita untuk berfikir
Berfikir untuk bagaimana menjalani pelik-pelik hidup yang terkadang tandus dan gelap. Tak selamanya subur dan terang benderang. Justru dari hal itu hidup bermula. Hidup tak sekedar untuk hidup. Ya, hanya hidup. Hidup tak semudah air yang mengalir. Yang mengikuti kemana nasib akan membawanya. Namun hidup adalah sebuah etika perjuangan yang tak pantas untuk ditanggalkan. Memang kita bukan penentu nasib, tapi kita bisa merubah nasib. Adalah atas dasar kemauan untuk merubah dan menjalaninya. Dengan tangguh. Bukan hanya dengan rengekan dan rayuan yang membelenggu.
Hidup sebenarnya adalah untuk menghadapi berbagai bentuk rintangan, ujian, dan cobaan. Hidup sebenarnya untuk bermimpi dan membangunnya. Ya, seperti itulah hidup. Tak peduli bagaimana nanti dunia akan berakhir. Baik berakhir dengan api atau dengan air. Tak peduli sekeras apa badai menghantam. Tak peduli separah apa angin memporak porandakan pondasi-pondasi hati kita. Memaknai hidup yang sedang dijalani adalah jauh lebih berarti ketimbang menyia-nyiakan hidup yang kita telusuri.