Kamis, 03 Februari 2011

Membuka Hati dan Mata...

Menjangkau Alam
Kalau bicara tentang apa saja kerusakan yang ada di muka bumi, pastilah tidak akan ada habisnya. Bak air yang terus menerus keruh kalau bisa diumpamakan. Tidak pernah jernih. Padahal apa saja yang ada di muka bumi dan segala yang ada di dalamnya adalah digunakan untuk kepentingan makhluk hidup seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Jika terjadi kerusakan yang nyata dan jelas pastilah dampaknya akan dirasakan sendiri oleh makhluk hidup yang bersemayam di dalamnya.
                Sebagai manusia, jelas harus tahu apa tugas yang diembannya. Manusia adalah khalifah di muka bumi. Maka sudah seharusnya manusia menjaga segala sesuatu yang seharusnya dijaga seperti  alam. Agar tidak terjadi kerusakan yang lebih parah. Agar bumi dan segala sesuatunya tetap kembali pada fitrahnya. 
                Tapi, bagaiman bila alam sudah tercemar  dan tidak lagi berfungsi sebagai  sumber kehidupan bagi semua makhluk di bumi ciptaan-Nya??? Seperti kasus di Tangerang berikut ini.
TANGERANG - Sebanyak 36 kasus pidana menyangkut masalah kerusakan lingkungan di Indonesia telah divonis oleh Pengadilan Negeri (PN) setempat setelah adanya pengaduan dan laporan masyarakat.
"Sejak beberapa tahun terakhir ini, pengadilan telah menjatuhkan vonis sebanyak 36 kasus kerusakan lingkungan di Indonesia," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup (Meneg LH) Rachmat Witoelar di Tangerang, Kamis (17/1) lalu.
Meneg Lingkungan Hidup mengatakan itu usai menelusuri secara mendadak ke DAS Cisadane menggunakan perahu karet di wilayah Kota dan Kabupaten Tangerang bersama Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah.
Bahkan Meneg Lingkungan Hidup didampingi Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Jawa, Sudarsono SH dan Deputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumberdaya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan, Masneliyarti Hilman.
Menurut dia, semakin besar perusahaan yang merugikan lingkungan dan masyarakat, maka vonis yang dijatuhkan hakim cenderung bebas di PN maupun tingkat Pengadilan Tinggi (PT).
Dia memberikan contoh tentang pencemaran lingkungan di Teluk Buyat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulut, dan divonis bebas oleh hakim.
Saat ini pihak Meneg LH telah membawa kasus galian C di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat ke PN setempat dan sejumlah pengusaha tambang itu dijadikan tersangka oleh penyidik.
Bagi pihak yang merusak lingkungan dapat diajukan ke meja hijau sesuai UU No.23 Tahun 1997 tentang lingkungan hidup dan dikenakan sanksi perdana dan pidana. Namun Witoelar tidak menyebutkan secara terinci pengusaha yang telah divonis bebas tersebut dengan alasan tertentu.
Pada prinsipnya, pengusaha dapat diajukan ke meja hijau sesuai pasal 25 UU No.23 Tahun 1997 dengan sanksi berupa administrasi, ganti rugi, dan pidana kurungan terhadap direksi perusahaan itu.

Dalam UU tentang lingkungan hidup tersebut ditegaskan bahwa Gubernur dapat memberikan sanksi administrasi bagi perusahaan yang merusak lingkungan.
Begitu memprihatinkan keadaan yang terjadi pada alam kita saat ini. Berbagai bencana yang terjadi dimana – mana adalah bukti bahwa kita, sebagai  khalifah di muka bumi terlalu mengeksplorasi  alam dan lingkungan sehingga kerusakan lingkungan telah nyata terjadi sebagai imbas dari tangan – tangan panjang manusia yang tidak bertanggung jawab.
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata : “Hai kaumku, sembalah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) dan lagi memperkenankan (do’a hamba-Nya).” (QS. 11 : 61).
                                                                                                                                Jum’at, 4 Januari 2011 at 01. 05 p.

Rabu, 02 Februari 2011

Sebuah Dedikasi terhadap SASTRA

Sastraku Menangis
            Sastra merupakan kata serapan dari bahasa sansekerta शास्त्र,, shastra, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”. Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesustraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Tetapi kata “sastra” bisapula merujuk kepada semua jenis tulisan, apakah ini indah atau tidak.
Selain itu dalam arti kesusastraan, sastra bisa dibagi menjadi sastra tertulis dan sastra lisan (sastra oral). Disini sastra tidak banyak berhubungan dengan tulisan, tetapi dengan bahasa yang dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu. Biasanya kesusastraan dibagi menurut daerah geografis atau bahasa.
            Sastra merupakan seni bahasa, oleh karena itu keberadaannya patutlah dipertahankan untuk memperkaya khasanah budaya di nusantara. Lalu, siapakah yang harus mempertahankan dan mengembangkan khasanah budaya tersebut agar tidak hilang tertindih budaya yang lain ? Tentulah kita yang harus mempertahankan dan mengembangkannya.
Disinilah masalah mulai terjadi. Dalam realitanya generasi penerus sastra tersebut makin ogah –ogahan untuk mempertahankan apalagi mengembangkannya. Seakan – akan tidak ada yang peduli akan dibawa kemana sastra kita. Nasib sastra kita akan menjadi terkatung – katung. Ngambang. Tak jelas arahnya, karena tak ada yang mau apalagi sanggup untuk membawa kearah yang seharusnya, yaitu kearah sebuah perkembangan yang lebih baik.
Bagaikan sebuah rumah yang akan ambruk bila boleh digambarkan wajah sastra kita saat ini. Awalnya rumah tersebut berdiri dengan kokoh pada masa kejayaannya. Sama seperti sastra kita. Pada mulanya sastra kita sempat mengalami masa dimana masa itu melahirkan banyak sastrawan terkemuka. Di masing – masing periode ada sastrawan yang muncul dengan buah tangannya yang menakjubkan. Periode – periode tersebut dikenal dengan “Angkatan Pujangga Lama” , “ Angkatan Pujangga Baru”, “ Angkatan ‘45”, “Angakat Balai Pustaka”. Mereka seperti raja di angkatannya masing – masing. Namun sekarang perlahan perkembangan sastra tidak terlihat sama sekali, bahkan karya – karya lama yang dihasilkan pada masing – masing angkatan seperti lengser dewasa ini. Jadi tidaklah salah jika perandaian diatas diungkapkan. Sastra seperti rumah yang akan ambruk. Keadaannya sekarang memprihatinkan. Tidak ada yang berjuang untuk membuatnya kembali kokoh seperti semula. Sastraku menangis.
Seharusnya ini adalah tanggung jawab pemiliknya, yaitu kita semua. Dalam hal ini lebih ditekankan pada generasi penerus bangsa. Tapi yang kita temukan sekarang justru berbandng terbalik. Mengapa ? Dalam sebuah situs di Internet saya menemukan banyak artikel tentang ketidakpedulian generasi penerus bangsa khususnya para  remaja terhadap sastra. Pada situs blog milik seorang siswa SMP bernama Febby disebutkan :
“Sastra adalah hal yang berat dan membosankan,” begitulah anggapan umum para remaja. Sebuah anggapan yang juga membuat kita memahami mengapa karya-karya teenlit lebih digemari para remaja ketimbang Siti Nurbaya-nya Marah Rusli. Padahal keberadaan sastra bukan sekadar hiasan, melainkan untuk dibaca, untuk dilestarikan. Padahal dari sebuah puisi, kita dapat mengetahui sesuatu yang tidak ada di depan mata. Kita menyimpan khayalan orang lain yang indah.
Febby inilah yang turut prihatin akan reaksi teman – temannya yang menanggapi tentang sastra setelah W. S. Rendra berbicara dalam sebuah forum yang digelar di sekolah mereka. Hanya sebagian kecil dari mereka yang antusias menyimak tentang apa yang W.S. Rendra bicarakan. Sebuah kenyataan yang menyayat batin sastra kita. Lagi – lagi sastra ku menangis.
Akankah terus dibiarkan keadaan yang seperti ini ? Ketidak pedulian remaja pada sastra dapat dibuktikan dengan hal lain. Misalnya, ketika mereka ada tugas menulis dari guru bahasa Indonesia mereka, contohnya seperti menulis sebuah esay dengan batas waktu satu jam. Mereka akan lebih memilih menyingkat kata-kata yang TIDAK seharusnya disingkat. Seperti kata ‘yang’ disingkat menjadi ‘yg’, kata ‘dengan’ disingkat menjadi ‘dg’ dan lain-lain untuk mempersingkat waktu. Ini sangat tidak sesuai dengan aturan EYD (Ejaan yang Disempurnakan).
Ketidakpedulian akan sastra seperti menjadi virus sehingga sangat marak terjadi dikalangan remaja saat ini. Kesadaran mereka untuk mengembangkan dalam upaya melestarikan sastra sangatlah minim. Sudut hati kecil mereka seperti tidak tersentil sedikitpun. Maka imbasnya, karya – karya seperti teenlit yang notabene isinya “bagus” lebih diminati ketimbang karya – karya seperti Belenggu (Armijn Pane), Di Bawah Naungan Ka’bah (Hamka), Deru Tjampur Debu (Chairil Anwar), Robohnya Surau Kami (A.A Navis), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis) dan banyak yang lainnya.
Banyak yang berkelit dan mencari-cari alasan ketika sebuah pertanyaan diajukan ke mereka. Yaitu, tentang alasan mengapa mereka lebih suka membaca teenlit ketimbang karya sastra yang lainnya? Maka, jawaban mereka akan tetap sama. Bahasa yang sulit dipahami dan dicerna oleh merekalah kendalanya, jadi mereka tidak dengan mudah memahami isi dari karya sastra itu. Sebuah alasan yang masuk akal, tetapi sangat mudah ditebak bagaimana ujung temu nya.
Lalu, apa tindakan yang seharusnya dilaksanakan oleh semua pihak guna menumbuhkan kesadaran para remaja untuk turut berperan andil dalam pengembangan sastra kedepannya agar sastra tidak rusak apalagi hilang direngat oleh waktu? Sebenarnya banyak yang dapat dilakukan antara lain dengan mengenalkan tentang indahnya sastra kepada semua kalangan khususnya para remaja, menanamkan budaya membaca sedari dini dan masih banyak hal lain yang dapat dilakukan.
Namun, semua ini tidak dapat dipaksakan. Semua dikembalikan pada masing-masing individu bagaimana mereka menyikapi dan mengatasi kerapuhan sastra saat ini. Karena sesungguhnya masa depan sastra ada pada bahu - bahu mereka. Adalah sebuah kepercayaanlah sekarang yang harus diletakkan dalam dada masing-masing pihak. Bahwa mereka, generesi penerus bangsa, pasti akan sanggup membangun sastra yang reyot perlahan direngat waktu. Ya, percaya. Percaya bahwa sastra ini tidak akan kembali menangis.

                                                                        Magetan, 15 Oktober 2010
                                                                        Pukul 00.06